Jilbab yang Mana Ya??





Sinar mentari itu mulai muncul di sela-sela gorden jendela yang segera membuat silau pandanganku. Mataku masih berat. Aku pun bergegas bangkit dengan mata yang masih sayup-sayup memandang sekitar.  Kupandangi diriku di cermin seraya berucap hamdalah tanda syukurku kepada-Nya karena masih membangunkanku dalam keadaan sehat. Dengan langkah gontai aku segera menuju ke kamar mandi. Setiap pagi aku selalu berurusan dengan dinginnya air. Namun, setelahnya rasa segar pun terasa hingga ke ubun-ubun yang lantas membuatku merasa lebih bersemangat. “Selamat pagi dunia” gumanku keras bak menyapa penonton dari atas pentas. Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi. Masih ada satu jam waktuku untuk bersiap-siap ke kampus. Masih sulit bagiku untuk tak kembali terlelap setelah shalat subuh tadi. Lembutnya selimut dan semilir angin yang begitu menerpa sukses menggodaku untuk kembali ke alam mimpi.
            Segelas susu hangat dan dua buah roti menemaniku pagi ini. Dengan sigap aku segera mengakhiri kekosongan perutku. Setelah semuanya telah tertabung di perut, aku memutuskan untuk bersiap-siap. Mata bulatku terbuka lebar memandangi satu-persatu jilbab-jilbab yang tergantung rapi di lemari. Tak seperti biasa aku bingung untuk memutuskan warna jilbab apa yang akan kukenakan. Tangan kananku mulai bergerak untuk mengambil jilbab hijau dengan payet senada yang menghiasi ujung jilbab itu. Namun, tangan yang lain mengambil jilbab hitam polos dengan lubang-lubang berbentuk bunga di setiap sisinya. Hingga kini otakku belum memberi sinyal mengenai warna jilbab yang akan kukenakan. Aku pun memutuskan untuk duduk di kursi dengan meja petak di depannya seraya menopang dagu. Ku lihat jilbab-jilbab itu begitu panjang dan lebar. Tiba-tiba otakku menyeretku ke masa lalu. Yaitu masa di mana aku masih enggan menggunakan jilbab. Di masa-masa aku masih berpakaian ketat. Kalau pun berjilbab, itu hanyalah sebatas syarat dan jilbab yang kukenakan pun masih jauh dari syar’i. Namun, kini semuanya telah bertransformasi. Semuanya telah berubah semenjak aku masuk ke dunia perkuliahan. Dunia tarbiyah. Disinilah aku sekarang. Kehadiran Tarbiyah bagaikan setetes embun di tengah kering dan gersangnya hidup. Proses demi proses menuju keislaman yang sempurna terus menghiasi setiap relung waktuku. Proses belajar yang tadaruj atau bertahap terus kunikmati hari demi hari. Semuanya hanya demi kesempurnaan. Semuanya hanya demi patuh kepadaNya. Aku tau semuanya sulit. Sulit bagiku saat  itu untuk mengubah penampilan menuju syar’i, sulit bagiku untuk bersikap lebih ramah, sulit bagiku untuk shalat tepat waktu dan masih banyak kesulitan-kesulitan lain yang masih belum ku indahkan. Namun, aku sadar semuanya butuh proses. Aku tau tak ada yang instan. Mie instan saja masih perlu dimasak untuk bisa dinikmati dengan sempurna. Apalagi hidup ini. Apalagi sebuah pencapaian. Semuanya memang sulit tapi dengan kesulitan itu kita akan memperoleh hasil yang lebih berkualitas. Proses tarbiyah ibarat menjaga api kecil di tengah kencangnya hembusan angin, senantiasa harus selalu dijaga dan dipelihara sehingga cahaya itu tidak redup, sehingga api itu tidak padam diterpa kencangnya angin. Dengan perjalanan tarbiyah ini sedikit demi sedikit hidupku terasa lebih berkualitas. Aku sadar aku belum terlalu jauh melangkah. Masih banyak ilmu yang harus kutimba melalui tarbiyah ini. Aku yakin tarbiyah adalah pencetus perubahan. Jilbab panjang dan lebar inilah salah satu nikmat yang kurasakan kini.
            Mataku mulai mengerjap-ngerjap. Setelah sekian menit aku hanyut dalam pikiran, aku pun memutuskan bangkit dan segera bersiap-siap. Lagi-lagi dua jilbab itu saling berkompetisi menjadi yang terbaik. Seolah memanggil-manggilku untuk segera mengambilnya. “Aku saja!” kata jilbab hijau. “Tidakk!! Akulah yang terbaik untukmu hari ini! Kenakan aku! Kenakan aku!” ujar jilbab hitam. Otakku mulai menciptakan imajinasi-imajinasi dan perasaan yang membuatku kacau. Membuatku semakin sulit untuk memutuskan yang mana yang akan kukenakan. Namun tiba-tiba hati kecilku berbicara. “Tak ada yang paling bagus di antara kedua jilbab itu dan tak ada pula yang paling buruk di antara keduanya. Dua-duanya adalah nyaman dikenakan.  Selagi tujuanmu adalah bulat untuk menutup aurat dan bukan untuk memamerkan keindahan maka ambil lah salah satunya sekarang juga!” . Tanpa pikir panjang aku langsung mengambil jilbab yang berwarna hijau. Aku baru saja membuang-buang waktu untuk hal yang tak terlalu penting. Dengan segelintir ilmu yang kumiliki membuatku bisa mengambil keputusan.

            Pagi ini aku kembali menimba ilmu. Dengan langkah lebar dan hati yang tenang, kaki ini terus melangkah menyusuri kampus tercintaku. Seluas apa pun mayapada ini akan selalu ku tempuh demi ilmu yang bermanfaat. Salam Tarbiyah !