Puisi: Malamku, Sunyiku


Hampa mengisi malam
Gelap melantunkan sunyi
Hingga aku dan ritme jantung menyapa hening
Berdialog sendu dalam diam

Sepi tak kunjung menepi
Hingga ku pergi ke ufuk mimpi
Jauh
Semuanya semu aku tahu

Kesunyian memang milikku
Tanpa celah marut insan
tak ada mulut kotor
tak ada auman absurditas

sunyiku kian meradang
disini di sepiku
aku selamat





VIsit me : ig @rosiermalfoy

Cerbung ~ No Title Yet. Any Idea?


Hmmmm...Sudah terlalu banyak kisah yang terjadi di dunia ini. Anggap saja sejak pertama kali manusia diciptakan. Semua kisah sudah memiliki porsinya masing-masing. Kalau dipetakan mungkin saja kisahku tak terlihat lagi. Atau mungkin terlihat hanya seperti setitik pasir atau bahkan lebih parahnya seperti partikel atom (mengingat umur bumi yang sudah purba) yang tentu saja tak dapat dijangkau oleh penglihatan manusia.
Dari sekian kisah umat bumi, aku tentu saja juga memiliki porsi tersendiri yang kisahnya akan segera kuceritakan padamu mulai hari Senin.


Pekanbaru Senin, 19 November 2016

Belahan bumi tempatku bernaung tengah gerimis. Aroma tanah basah berlahan-lahan terhirup oleh hidung kecilku. Terlihat para remaja berseragam biru putih berlarian sambil menutupi kepala dengan tas masing-masing. Rupanya masa air turun membludak dari mulut langit yang kian kelabu. Aku segera mempercepat langkah menuju halte karena sekitar lima belas menit lagi bus akan segera datang.

Di dalam bus orang-orang tampak hanyut dalam pikirannya masing-masing. Tak ada komunikasi mengingat suara hujan lebih mendominasi seisi ruang. Tanganku sibuk membereskan dokumen yang pinggirannya tampak lembab hingga sayup-sayup telingaku menangkap suara.

“Neng...Neng mau beli kacang? Sereboan aja neng.”
Aku menangkap sesosok bungkuk pak tua yang ternyata sedari tadi duduk di sampingku. Ia tampak  sedang menjajahkan dagangannya. Tangan keriput itu menggenggam beberapa bungkus kacang goreng yang dikemas rapi dalam balutan plastik es lilin.
“Sereboan aja Neng” Ulangnya.
Aku segera meraih dompet dari tas. Mengeluarkan lima helai uang seribuan. Lelaki berambut klimis di depanku tampak tertarik dengan dagangan si Pak tua. Ia tampak memborong semua kacang. Tak lama berselang pramugara bus datang menagih tiket tagihan kepada setiap penumang diikuti suara petir yang bergemuruh. Seketika itu juga aku terkejut hingga dokumenku bertebaran di lantai bus.
“Arengka Mas!” ujarku sedikit bereriak kepada pramugara yang spontan membantu merapikan kertas-kertasku. “Arengka pak!” teriak pramugara kepada pramudi bus mengulangi  ucapanku. Bus berhenti tepat di halte Arengka. Aku turun dengan perasaan cemas karena dokumenku yang lembab dan berantahkan.

                                                                              ***
Aku tak menyangka ternyata melamar kerja begitu sulit untukku yang hanya lulusan SMA. Ditambah lagi aku tak punya pengalaman kerja sedikit pun dan perantara relasi sosialku pun bisa dibilang tidak ada sama sekali. Semuanya serba baru bagiku. Aku sudah mengantar kurang lebih ke tujuh perusahaan dan hingga detik ini belum ada satu pun pihak perusahaan  yang menghubungiku.

Aku jalan tak bersemangat menuju taman kecil. Duduk dengan suasana hati yang kacau seraya menatap rerumputan yang  tampak basah oleh bulir-bulir sisa hujan beberapa jam yang lalu. Dalam diam aku mengunyah kacang Pak tua tadi. Rasanya sangat nikmat hingga aku sudah menghabiskan tiga bungkus. Dahaga tentu saja. Aku segera pergi menuju supermarket terdekat membeli air mineral. Ketika aku hendak membayar, seketika itu juga aku sadar dompetku tak ada denganku sedari tadi.

Aku panik bukan kepalang. Pasti dompetku ikut jatuh ketika ada petir di bus tadi. Entah bagaimana bisa aku seceroboh itu. Aku sama sekali tak ingat nomor bus yang kutumpangi tadi.  Bisa saja dompetku mendarat ditangan orang yang tak bertanggung jawab. Entah siapa aku tak tahu.

To be continued ~

Puisi: Bumi Rantauku Basah






Bumi rantauku basah
Sekawanan tirta menari liar di malam buta
Malam legam deras meronta
Rintik riuh memecah tanah

Bumi rantauku basah
Rinai membadai tumpah ruah
Mengayun membelah sunyi
Melayang memukul hampa

Bumi rantauku basah
Semerbak petrikor terhirup syahdu
Menyeruak ke relung hati nan jauh
Menjerumuskanku pada rindu tahun itu

Bumi rantauku basah
Basah lecun menghapus sendu
Sajak lampau menari pekat
Membelaiku pada rindu masa itu


Pekanbaru,  14 Dec 18
Oleh Desfindah Rosier