Hmmmm...Sudah terlalu banyak kisah yang terjadi di dunia ini. Anggap saja
sejak pertama kali manusia diciptakan. Semua kisah sudah memiliki porsinya
masing-masing. Kalau dipetakan mungkin saja kisahku tak terlihat lagi. Atau
mungkin terlihat hanya seperti setitik pasir atau bahkan lebih parahnya seperti
partikel atom (mengingat umur bumi yang sudah purba) yang tentu saja tak dapat
dijangkau oleh penglihatan manusia.
Dari sekian kisah umat bumi, aku tentu saja juga memiliki porsi tersendiri
yang kisahnya akan segera kuceritakan padamu mulai hari Senin.
Pekanbaru Senin, 19 November 2016
Belahan bumi tempatku bernaung tengah gerimis. Aroma tanah basah
berlahan-lahan terhirup oleh hidung kecilku. Terlihat para remaja berseragam
biru putih berlarian sambil menutupi kepala dengan tas masing-masing. Rupanya
masa air turun membludak dari mulut langit yang kian kelabu. Aku segera mempercepat
langkah menuju halte karena sekitar lima belas menit lagi bus akan segera datang.
Di dalam bus orang-orang tampak hanyut dalam pikirannya masing-masing. Tak
ada komunikasi mengingat suara hujan lebih mendominasi seisi ruang. Tanganku
sibuk membereskan dokumen yang pinggirannya tampak lembab hingga sayup-sayup
telingaku menangkap suara.
“Neng...Neng mau beli kacang? Sereboan aja neng.”
Aku menangkap sesosok bungkuk pak tua yang ternyata sedari tadi duduk di
sampingku. Ia tampak sedang menjajahkan dagangannya.
Tangan keriput itu menggenggam beberapa bungkus kacang goreng yang dikemas rapi
dalam balutan plastik es lilin.
“Sereboan aja Neng” Ulangnya.
Aku segera meraih dompet dari tas. Mengeluarkan lima helai uang seribuan.
Lelaki berambut klimis di depanku tampak tertarik dengan dagangan si Pak tua.
Ia tampak memborong semua kacang. Tak lama berselang pramugara bus datang
menagih tiket tagihan kepada setiap penumang diikuti suara petir yang
bergemuruh. Seketika itu juga aku terkejut hingga dokumenku bertebaran di
lantai bus.
“Arengka Mas!” ujarku sedikit bereriak kepada pramugara yang spontan
membantu merapikan kertas-kertasku. “Arengka pak!” teriak pramugara kepada pramudi
bus mengulangi ucapanku. Bus berhenti
tepat di halte Arengka. Aku turun dengan perasaan cemas karena dokumenku yang
lembab dan berantahkan.
***
Aku tak menyangka ternyata melamar kerja begitu sulit untukku yang hanya
lulusan SMA. Ditambah lagi aku tak punya pengalaman kerja sedikit pun dan
perantara relasi sosialku pun bisa dibilang tidak ada sama sekali. Semuanya
serba baru bagiku. Aku sudah mengantar kurang lebih ke tujuh perusahaan dan
hingga detik ini belum ada satu pun pihak perusahaan yang menghubungiku.
Aku jalan tak bersemangat menuju taman kecil. Duduk dengan suasana hati
yang kacau seraya menatap rerumputan yang
tampak basah oleh bulir-bulir sisa hujan beberapa jam yang lalu. Dalam
diam aku mengunyah kacang Pak tua tadi. Rasanya sangat nikmat hingga aku sudah
menghabiskan tiga bungkus. Dahaga tentu saja. Aku segera pergi menuju
supermarket terdekat membeli air mineral. Ketika aku hendak membayar, seketika
itu juga aku sadar dompetku tak ada denganku sedari tadi.
Aku panik bukan kepalang. Pasti dompetku ikut jatuh ketika ada petir di bus
tadi. Entah bagaimana bisa aku seceroboh itu. Aku sama sekali tak ingat nomor
bus yang kutumpangi tadi. Bisa saja
dompetku mendarat ditangan orang yang tak bertanggung jawab. Entah siapa aku
tak tahu.
To be continued ~