Jalanan penuh sesak. Sesak akan
khalayak yang sedang hanyut menyambut keceriaan.Lampion-lampion
berbagai bentuk menggantung indah mengedipkan warna-warna cerah bak menantang
purnama yang masih sembunyi di balik gundukan awan. Di bawah temaram senja
orang-orang bersukaria, tapi tidak denganku yang hanya numpang lewat menyusuri
gelimangan manusia yang sedang bereuforia merayakan Mid-Autumn
Festival. Seluruh negeri China sedang berpesta tak
terkecuali Hongkong tempatku kini mengadu nasib. Negara ini sedang merayakan
rasa syukur penyambutan musim panen ditengah-tengah musim gugur. Terlihat
kerumunan manusia dari ras yang berbeda-beda. Banyak turis
rupanya.Tiba-tiba aku teringat wanita tua dan dua serdadu kecil itu di rumah.
Maka dengan berat hati aku menapak lebih laju.
Di jalan
pulang aku melihat seekor tikus berlari sangat kencang menuju ke celah
papan-papan besar yang disandarkan di dinding sebuah toko. Aku
menatap jijik teringat akan tikus-tikus di rumah majikannku yang tak pernah ada
habisnya. Nenek tua yang kurawat akan kambuh sakit gilanya jika melihat tikus
berkliweran di dalam rumah. Tak terkecuali dua orang cucunya yang kembar.
Barangkali mereka mewarisi kegilaan neneknya. Wanita tua yang kurawat ini
lumpuh maka sehari-hari ia selalu beraktivitas di atas kursi roda. Ia senang
merajut benang wol. Bukan membuat pakaian atau syal dan lainnya. Ia sangat
senang merajut membentuk bola-bola. Awalnya aku mengira ia tengah merajut Amigurumi,
yaitu sejenis seni merajut boneka kecil asal Jepang. Ternyata hanya sekedar
bola-bola dengan benang yang selalu hitam. Sudah banyak bola-bola hasil
rajutannya menumpuk di rumah, mulai dari ukuran kecil hingga seukuran kepalan
tangan dewasa. Aku pernah bertanya perihal warna bola yang selalu hitam dan dia
hanya menjawab bahwa itu bukan urusanku. Setelah membuat bola-bola maka benda
itu akan dilemparkannya kemana saja layaknya sampah. Selalu begitu, namun
terpotret gurat kepuasan membingkai di wajah nan keriput itu.
Bunga-bunga
di depan rumah menabur harum, namun harum tersebut seketika lenyap dan sesuatu
menyegrap hidungku. Bau amis menyeruak membuatku mual. Di dalam
rumah aku melihat Fai dan Chen tengah bermain-main dengan bola-bola buatan
neneknya. Sang nenek seperti biasa duduk di depan TV dengan tangannya yang
lihai memainkan jarum dan benang-benang. Tidak ada
yang aneh pikirku atau mungkin saja indra penciumanku terlalu sensitif.
Tiba-tiba Chen berteriak kencang memekikkan telinga. Bocah sembilan tahun itu
membuat Fai dan nenek Li tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat Chen
ketagihan untuk mengulanginya. Guyonan yang sangat aneh pikirku. Guyonan yang
hanya cocok jika dilemparkan dan dinikmati oleh para balita. Kali ini bau amis
itu semakin nyata dan terjawab sudah dari mana bau itu berasal. Dua ekor tikus
telah buntung-buntung badannya. Darahnya berceceran. Ternyata telah terjadi
pembunuhan disini. Bayangan lampion-lampion indah beberapa menit yang lalu
kandas digantikan dengan pemandangan bangkai. Aku yakin pasti Chen
dan Fai yang memutilasi tikus-tikus itu. Benar saja aku melihat baju dua bocah
itu terdapat bercak-bercak darah dan nenek Li? Apakah tadi dia sempat gila?
Ketika aku
membalikkan badan seketika aku terkejut melihat nenek Li sudah ada di ambang
pintu dapur. “Bersihkan darah itu dan buang bangkai penyusup gila itu!”
pintanya sembari memutar balik kursi roda meninggalkanku. Pekerjaan yang
menjijikkan. Aku benci tikus dan kenapa hal-hal ini harus terjadi. Aku
mengambil tikus-tikus itu dengan bantuan plastik. Sungguh aku tak ingin
menyentuh setitikpun darahnya. Lantai penuh darah itu aku pel dan menebarkan
pewangi lantai sebanyak-banyaknya. Fai dan Chen terkekeh melihatku membabu.
“Dasar gila!” batinku menggeram. Lama-lama bisa sama gilanya aku dengan
mereka.
Dua anak itu
memang berbeda tak seperti anak-anak lainnya. Keganjilan dan kekerasan sudah
terpatri sedari dini. Menggerogoti jiwanya yang masih suci-suci. Itu pasti
karena ulah neneknya. Nenek Li yang selalu memberi aba-aba untuk melakukan
kekerasan terhadap apa-apa yang mengganggu pemandangannya, namun sayangnya
kedua jantan belia itu semakin hari semakin kesenangan dengan perintah sang
gila. Seperti di hari itu. Ketika hari hujan dan mulai reda, satu dua laron
memasuki rumah melalu ventilasi. Semakin lama maka laron-laron itu semakin
banyak pula. Semuanya mengitari lampu yang berada di ruang tamu. Nenek Li
terlihat terganggu. Di tempatnya ia duduk berjatuhan sayap-sayap laron
menyentuh ubun-ubunnya dan kemudian menyebar di pangkuannya. Ia berseru-seru.
Memaki laron-laron tersebut dengan bahasa Mandarin. Tak lama umpatan-umpatan
itu ditiru oleh kedua cucunya. Sang nenek semakin terlihat kesal. Aku berusaha
membantu nenek Li membersihkan sayap-sayap itu, namun wanita tua
itu justru marah dan memintaku jangan ikut campur. Ia menyruhku
masak dan jangan ikut-ikutan. Nenek Li menyuruh kedua cucunya menyemprot
laron-laron tersebut dengan racun serangga. Maka seketika jasad
anai-anai bersayap itu membanjiri lantai. Tak puas sampai disitu nenek Li
menyuruh dua bibit psikopat itu menghabisi mayat-mayat laron
dengan cara menumbukinya dengan batu. Dengan senang hati dua sosok
itu langsung menyebar mencari batu dan menumbuk membabi buta. Nenek
Li berkata sejenis umpatan dalam bahasa mandarin yang lantas diikuti dua insan
kecil itu. Gelak tawa menggelegar di seantero rumah ini. Semburat
senyum puas membingkai di wajahnya seperti kesan puas saat merajut
dan melempar bola-bola buatannya. Aku benar-benar cemas melihat pertumbuhan dua
bocah itu. Kedua orang tuanya sudah bercerai. Ayahnya menikah dengan wanita
lain dan tak pernah mengunjungi kedua putranya lagi. Sedangkan Ibunya seorang
single parent yang kini bekerja mengadu nasib di Amerika. Sesekali ia pulang,
itu pun jarang sekali hingga keberadaannya hampir terlupakan di rumah ini.
Anak-anaknya terlihat cukup bahagia dengan keberadaan sang nenek yang justru
pertumbuhan keduanya tercemar keberingasan.
Bagiku kata
“menghabisi” lebih berkonotasi negatif dibandingkan dengan kata
“membunuh”.Menghabisi berarti terselip penyiksaan dan kebrutalan di
dalamnya. Kata-kata itulah yang tiap kali terlontar di bibir tipis
nenek Li sebagai komando kepada dua cucunya yang entah tanpa sadar telah
memupukkan Fai dan Chen benih-benih kenistaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar