Seorang
lelaki tua sedang duduk bersantai di beranda rumah yang tak kalah tuanya. Kulit
lelaki itu teramat keriput dimakan usia. Rambutnya yang putih tampak keperakan
di bawah semburan mentari fajar. Orang-orang biasa memanggilnya Mbah Broto.
Mbah Broto seorang yang ramah tamah namun berharga diri tinggi alias tak suka
dikasihani. Ia hidup ditemani kucing setianya, Kudo. Berdua saja. Ia tak pernah
punya anak, maka baginya Kudo adalah anaknya. Sanak familinya sudah lama menghilang satu
persatu dan istrinya sudah meninggal berpuluh-puluh tahun silam. Di
selasar rumahnya dipasangnya tiang dengan plang bertuliskan "Mbah Broto
(tukang pijit)". Tiang iklan itu sudah benar-benar karatan. Terlihat begitu kopong
dan ringkih. Hanya dengan satu dua tendangan mungkin bisa roboh.
Dalam
minggu ini pelanggannya cuma sedikit. Untuk mencukupi kebutuhannya, maka ia menjual
belalang dan juga minyak pijat yang ia racik sendiri dari tanaman-tanaman obat.
Jika musim belalang tiba, maka ia akan berjualan belalang. Musim belalang
berati musim hujan. Lain halnya di musim kemaarau, ia jarang beburu karena ia tak sanggup
berlama-lama di bawah sengatan matahari. Terkadang berburu jugalah ia tapi itu pun jika terpaksa saja. Maka sebagai gantinya ia hanya
menjual minyak pijat racikannya yang tak selalu laku di pasaran, mujurnya terkadang orang-orang datang kerumah untuk membeli ramuannya. Dengan ekonomni yang
pas-pasan dan tanpa sanak famili, mbah Broto terbilang cukup sukses menghidupi
dirinya. Ia beruntung perutnya tak pernah kosong meski sehari saja.
" Sekarang musim hujan,orang-orang males keluar" ia berkata-kata sambil dielusnya badan si Kudo. "Aku masih ingat pasien-pasienku dulu yang datang, mereka hanya berjumlah tak lebih dari jari-jari tanganku. Cuma itu ingatanku yg kekal". Lanjutnya sambil menatap ke arah mata Kudo.
" Sekarang musim hujan,orang-orang males keluar" ia berkata-kata sambil dielusnya badan si Kudo. "Aku masih ingat pasien-pasienku dulu yang datang, mereka hanya berjumlah tak lebih dari jari-jari tanganku. Cuma itu ingatanku yg kekal". Lanjutnya sambil menatap ke arah mata Kudo.
Hari itu cuaca tak cukup bagus untuk berburu
belalang. Hujan di luar bukan main derasnya. Datangnya bersahut-sahutan
dibarengi gemuruh petir yang bersorak-sorak kesetanan. Hari yang teramat
dingin. Balutan kain tebal yang menyelimuti tubuhnya tak selihai dingin yang telah menguasi badan ringkih itu.
Dilihatnya kudo menggulung diri dan terlelap. Tiba-tiba terdengar suara
gemeretak di luar rumah. Jelas sekali hingga membuatnya menemui sumber bunyi.
Dilihatnya tiang iklan itu jatuh. Serpihan-serpihan karat besi membaur di
lantai beton serambi rumahnya. " Bukan aku yg melakuannya!" Tiba-
tiba terdengar suara yang lantas mengubah sorotan mata mbah Broto. "Benda
itu lebih dulu jatuh dari pada kedatanganku, mungkin ia kena petir mbah".
Lanjutnya takut disalahkan. "Iya...iya cah, aku percoyo."
"Oh iya
mbah, ini nasinya." Anak muda itu menjulurkan kresek berisikan nasi
lengkap dengan lauknya.
"Opo iki? Kok aku dikasih ini?" Mbah Broto tampak tersinggung.
"Opo iki? Kok aku dikasih ini?" Mbah Broto tampak tersinggung.
"Gimana sih mbah, kemaren mbah sendiri yang
pesen...hayooo udah lupa ya?"
"loh
iya toh? Aku lupa, maklum uda tua.
" ini
kembalian uang kemarin mbah"
" iya,
makasih cah..."Anak muda tersebut meninggalkan mbah Broto sambil geleng-geleng
kepala.
Pagi itu adalah pagi Senin. Suasana langit lumayan mendukung. Hanya
hujan rinai. Pagi-pagi jam enam mbah Broto sudah mempersiapkan amunisinya. Disiapkannya
bambu panjang dan jaring-jaring yang diletakkannya di meja teras. Pagi di sini selalu abadi dengan kesejukannya. Ia menjulurkan lengan bajunya yang tergulung, hingga
melindungi tulang hasta yang menyembul dan juga pergelangan tangannya yang
seakan-akan tanpa daging. Segera ia pergi menyusuri kawasan hutan jati yang
terletak lumayan jauh dari rumahnya. Untuk sampai ke sana, ia harus menyebrangi
sungai dengan membayar upah pada pemilik rakit. Di atas rakit, tampak pemburu
lain sedang bersiul-siul meniru suara kacer hutan yang turut mewarnai suara
alam. Sesampainya di sana, mbah Broto mulai bergerilya memasuki pohon-pohon jati
yang besar dan lebat. "Waktunya berburu!" katanya penuh semangat
meski suaranya bergetar-getar. Namun, semangatnya kandas seketika saat menyadari
perlengkapan perangnya tertinggal. "Ohh gusti, aku benci jadi orang
tua!" gerutunya. Hari itu penangkapan jadi tak maksimal, jadi
diputuskannya untuk mengkonsumsi belalang buruannya seorang diri tanpa
menjualnya.
Di malam hari mbah Broto menghidupkan perapian. Ia duduk di depannya untuk membakar belalang sembari menghangatkan diri. Kudo turut serta disebelahnya menanti tuannya memberikan belalang gurih itu padanya. Ketika sedang menikmati hasil buruan, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. “Assalammulaikum mbah, mbah ada di dalam?" terdengar sayup-sayup suara pria.
Di malam hari mbah Broto menghidupkan perapian. Ia duduk di depannya untuk membakar belalang sembari menghangatkan diri. Kudo turut serta disebelahnya menanti tuannya memberikan belalang gurih itu padanya. Ketika sedang menikmati hasil buruan, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. “Assalammulaikum mbah, mbah ada di dalam?" terdengar sayup-sayup suara pria.
"Iya-iya
aku di dalam. Waalaikumsalam". Ternyata orang tersebut adalah warga desa yang
mengaku leher dan pundaknya kram.
" Maaf mbah, ini pundak saya sakit sekali"
maka dengan segala kemampuannya, mbah Broto mengurut bagian yang sakit pada pasiennya tersebut. Orang itu akhirnya pulang dengan skresek berisikan 3 botol minyak pijat yang dibelinya dari mbah Broto.
" Maaf mbah, ini pundak saya sakit sekali"
maka dengan segala kemampuannya, mbah Broto mengurut bagian yang sakit pada pasiennya tersebut. Orang itu akhirnya pulang dengan skresek berisikan 3 botol minyak pijat yang dibelinya dari mbah Broto.
Tak lama berselang. Pintu kembali deketuk.
Datang seorang wanita dan dua orang anaknya. Ibu tersebut membawa seplastik
beras seberat dua kilo.
"Loh, iya ini pasti pesenanku" kata mbah Broto ketika plastik itu diarahkan kepadanya.
"Iya mbah, mbah pesen beras sama suami saya waktu di hutan, saya kebetulan mau ke rumah Mbok Parmi jadi sekalian mampir, Oh iya ini kembaliannya mbah" wanita tersebut memberinya selembar lima ribuan.
" Yo, makasih yooo nduk"
"Sama-sama mbah" Ibu dua anak itu pun berlenggang meninggalkan mbah Broto.
"Loh, iya ini pasti pesenanku" kata mbah Broto ketika plastik itu diarahkan kepadanya.
"Iya mbah, mbah pesen beras sama suami saya waktu di hutan, saya kebetulan mau ke rumah Mbok Parmi jadi sekalian mampir, Oh iya ini kembaliannya mbah" wanita tersebut memberinya selembar lima ribuan.
" Yo, makasih yooo nduk"
"Sama-sama mbah" Ibu dua anak itu pun berlenggang meninggalkan mbah Broto.
"Nahhh ini rejeki kucing sholeh. Minyak pijatku
laku tiga, eh bukan kamu yg sholeh...tapi aku....hehehehe" guyonnya sambil
mengelus-elus leher kucing kesayangannya itu.
Hingga saat ini mbah Broto tak pernah sadar bahwa ia sedang dikasihani.
Hingga saat ini mbah Broto tak pernah sadar bahwa ia sedang dikasihani.
Mbah Broto yang selalu semangat dalam
menjalani hidupnya dan tak suka dikasihani menumbuhkan rasa empati pada warga desa.
Tak ada yang benar-benar sakit ketika datang minta dipijit. Tak ada yg
benar-benar memesan makanan ketika orang-orang mengantarkanya sembako dan lauk
pauk. Semuanya semata-mata hanya untuk membantu mbah Broto dengan memanfaatkan
kepikunanannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar