Cerpen: Alnitak, Alnilam, Mintaka



Angkasa begitu legam. Hitamnya melekat tajam di gantungi miliaran bintang. Gelap yang menawan, rembulan kokoh memajang diri dengan purnama. Aku masih di sini menyatu dengan semesta. Berbaring di rerumputan luas berpayungkan langit, berusaha menceburkan diri ke genangan malam. Suara alam lengang, tidak ada yang terdengar di telinga selain sepi yang megah. Menenggelamkanku ke relung-relung hening melenakan.  Menyeretku hingga kepusaran ingatan masa lalu. Tentang kita.

Itu kita. Tiga bintang dengan formasi sempurna. Alnitak, Alnilam, Mintaka. Sabuk Orion nan indah. Ibuku menyebutnya rasi bintang “Waluku”. Ingatkah kau bahwasannya  tiga bintang itu  melambangkan ikatan persahabatan kita? Masih terngiang segenap kenangan tentang hitam putih antara tiga sejawat. Aku, kau dan dia.  Di tempat ini. Di tempat yang serupa. Hanya saja  sebagian pohon di sekelilingku tak lagi menjulang mengadah langit. Rantingnya seakan rapuh ditumpuk masa, tak ubahnya perasaanku yang sedemikian rapuhnya diterjang badai dahsyat yang keluar dari bibir merahmu yang merah merekah. Namun hingga detik ini, tempat ini masih menjadi pelarian dari segenap kerasnya kehidupan.  Tempat syahduku bercengkrama dengan sang malam yang legam.  

Alnitak, Alnilam,Mintaka (sang pemburu). Mereka adalah kita. Ninda, Winda dan Ayu sang pemburu kebahagiaan.  Stargazing pertama kita di malam itu diselimuti angin yang sungguh mencucuk sumsum dan tulang. Terangnya bulan saat itu menampakkan matamu yang berbinar-binar mengucapkan janji persahabatan. Aku menatap bola matamu lekat-lekat. Sebuah tungku perapian. Kayu yang membara dan tak pernah kehilangan semangat. Malam itu aku dan Winda menjadi pendengar setiamu. Hari-hari nan indah kita pikul dengan sejuta senyuman. Mengukir kenangan tanpa ada yang mengusik. Kenyamanan terangkul di bahuku yang turun. Kala itu aku merasakan hari-hari yang seakan tanpa beban.  Berpayung dalam kebahagian masa-masa muda.

Lambat laun kayu-kayu di matamu mulai menghitam hingga membaur di udara menjadi abu dan meluruh. Aku dan Winda meredam sejuta tanya. Ada apa? Kenapa kau menghilang?
Di bawah pepohonan rindang di suatu masa. Aku dan Winda bersemayam di bawahnya tanpa kau yang seakan melebur jauh. Saat itu adalah senja. Mentari bersandar di punggung bukit. Lembut bias cahayanya mewarnai langit barat. Di bawah semburat cahaya orange kemerahan sosokmu muncul. Kau tampak tersenyum walau hanya menarik salah satu ujung bibir. Senyuman yang jelas-jelas kau paksakan. Di kanan dan kirimu hadir sosok-sosok  yang tangan-tangannya kau rangkul teramat erat.

“Maafkan aku selama ini kalian hanyalah pelarian bagiku” Ayu memberi pernyataan yang benar-benar membuatku menggerenyitkan dahi. Seolah apa yang dikatakannya tak masuk akal bagiku mengingat akan hari-hari menyenangkan yang telah kami lalui.
“Apa maksudmu?” Winda tampak bersuara.
“Di sekolah ini kalian hanya batu-batu kecil yang tersisihkan, kebahagiaanku bersama kalian selama ini adalah semu”

Ayu melenggang pergi. Meninggalkan aku dan Winda dengan sejuta tanya. Kata-kata itu begitu menancap ke ulu hati. Jadi apa artinya kami selama ini? Hanya batu-batu kecil yang tersisihkan katanya. Aku dan Winda memang tidak populer di sekolah, tetapi tidak seremeh temeh itu. Apa artinya popularitas jika tidak bahagia? Aku dan Winda sepakat tidak memerlukannya.

Suatu saat aku dan Winda akan menjelma jadi batu-batu tajam yang dapat melukai kakimu. Kami memang tak terlihat, namun kami berbahaya jika dilewatkan begitu saja.Keberadaan kami seolah selalu disisihkan, namun jika diletakkan di tempat yang benar kami tidak akan berbahaya. Apakah ini semacam dendam kesumat? Tidak. Tidak akan. Tidaklah hatiku secarut itu dengan membentuk dendam tak penting.  Tapi Winda? Ah air mukanya mengatakan hal yang sama.

Mulai saat itu tidak ada lagi rasi Orion. Tidak bisa dikatakan rasi Orion jika salah satu bintang tidak berada di zonanya. Winda masih selalu di sisiku hingga saat ini. Kami bersatu padu dan tampak terang benderang seperti bintang Sirius alias Dhruva. Bintang kutub yang paling cemerlang di langit malam. Menggambarkan kesetiaan yang kekal.

The Scandal of Pio (Part 2)




Di sebuah bangku taman gue duduk menunggu Pandu. Gue ditemani Pio yang gue letakkan di dalam pet carrier. Aroma manusia sangat kentara disini. Banyak muda mudi dan kumpulan keluarga sedang asyik nongkrong, foto-foto dan menikmati kuliner kaki lima. Pokonya rame yang mengasyikkan. Akhirnya yang di tunggu pun datang.
“Hai Win, udah lama nunggu? “
“Engga, belum juga limabelas menit.”
“Perkenalkan ini Matte yang gue ceritain ke elo” Pandu mengeluarkan kucing persia bewarna solid red dari pet carrier.
“Lucuuu banget rupanya si Matte ini ya...” Matte memang kucing yang lucu dan bulunya lembut sama lembut dengan Pio. Pandu gue sodorin Pio ke arahnya dan dia selalu tampak takjub saat melihat Pio. Tiba-tiba seseorang menyapa gue dari kejauhan. Ia berlari-lari kecil ke arah gue. Gue sungguh tertegun melihat Resti tiba-tiba muncul di hadapan gue.
“Restiiiii lo ke mana aja sihhh???Gue telpon nomor lu kaga aktif-aktif dan gue juga kekosan lo, lo ngga ada.”
“Iya hahaha. Sorry Win, pas gue nelpon lo, HP gue tiba-tiba mati dan sengaja ngga mau ngecas, gue mau move on dari Mulyo Win”
Move on sih move on, lagian pede amat Mulyo bakal hubungin lo. Orang jadi susah menghubungi lo tau nggak...huh bocah banget sih” gue mendengus kesal.
“Cie..cie...ada yang khawatir sama gue. Eh lagian gue nelpon lu berkali-kali pakai HP jadul gue lu ngga angkat Win. Kemana aja sih, bukannya di telepon balik ”
“Lo telpon gue?ooooh jadi nomor yang tadi malam itu salah satunya nomor elo?soalnya banyak nomor masuk.”
“Ya ampun tega banget nomor sahabatnya sendiri ngga di simpen”
“Bukan gitu. Nomor lo yang satu lagi itu ada di HP gue yang kelindes”
What kelindes??? Kok bisa sih?”
“Ya bisalah, gue dari rumah lo taunggak, nyariin lo. Tau-taunya HP gue jatuh dan ngga sengaja kelindes”
Sorry Winnn” wajah Resti tampak memelas.
“Udah ngga apa-apa, bukan rezeki gue. Eh iya perkenalkan ini temen gue Pandu.” Pandu yang dari tadi terlupakan segera menyapa Resti dengan senyuman manisnya.

Hari semakin gelap. Resti kembali bergabung dengan dua temannya dan pamit pulang. Tinggal lah gue dan Pandu. Susana taman justru semakin ramai. Maklum malam Minggu. Pio masih dalam genggaman Pandu, hingga ia pun kembali bersuara.
“Win kucing lo lucu banget ya...hmmm” Pandu berbicara sambil menimbang-nimbang.
“Ya si Matte juga lucu kok”
“Lo ngga ada gitu niatan untuk menjual Pio. Lo kasih berapa aja bakalan gue beli deh”
“Apa??? Ya ngga bakalan gue jual lah, Pio itu kesayang gue tau” gue sempat heran-heran sama permintaannya dia. Ternyata memiliki seekor Matte belum cukup baginya”
“Ayolah win, kalo engga gue pinjem deh kucing lo...gue sewa. Gimana?”
“Engga Panduuu...lo kenapa sih?” tanya gue penuh selidik.
“Ah engga papa, okedeh kalau gitu. Soalnya Pio lucu banget, gue suka gemes hehehe”
“Lah terus si Matte kan lucu juga?”
“Iya lucu sih, gue cuma pingin aja”

Senja berganti malam. Gue memutuskan untuk pamit dari Pandu. Tadi gue sengaja jalan kaki ke taman, soalnya letaknya tidak begitu jauh dari kosan gue. Di jalan pulang suara adzan mulai terdengar dari berbagai arah. Gue terus berjalan menenteng-nenteng pet carrier yang berisikan Pio. Hingga gue merasa sedikit tidak nyaman. Gue merasa di pantau oleh seseorang. Sepertinya ada yang mengikuti gue. Gue menapak lebih kencang hingga akhirnya sampai di rumah.   

Minggu pagi gue ngga ada punya janji, jadi gue memutuskan untuk memandikan Pio. Setelah memandikan Pio, karena gue belum punya hair dryier jadi gue memilih untuk menjemur Pio di bawa matahari sembari mengelap-lapnya. Gue masuk sebentar untuk mengambil parfum dan saat gue kembali tiba-tiba Pio sudah tidak ada di tempat. Secepat itukah? Gue panik dan segera mencarinya keman-mana, namun Pio tetap engga ada!

Gue galau bukan kepalang. Di teras rumah, gue mondar-mandir kaya setrika. Gue langsung teringat sama gerak-gerik mencurigakan tadi malam. Ada seseorang yang mengikuti gue! Kali aja dia pelakunya, tapi siapa? Pandu??
Dengan sigap gue coba menelepon Pandu. Orang yang pertama kali gue curigai karena ia sepertinya sangat menginginkan Pio. Nomor Pandu tidak aktif. Gue tambah curiga. 

Sudah tiga hari saat kehilangan Pio dan saat itu juga nomor Pandu tidak pernah aktif. Gue dan Resti udah lelah keliling nyariin Pio dan tanyakin ke rumah-rumah warga serta beberapa selembaran sudah gue sebar. Sumpah Pio itu benar-benar berharga banget buat gue.

Di sore hari yang melelahkan gue pergi ke taman kota. Gue duduk termenung seorang diri. Dari kejauhan gue melihat seseorang yang ga asing dimata gue . Hey itu Pandu! Gue melihat Pandu tengah duduk di bangku seraya memangku Pio. Ya ampun...dasar Klepto!!!masih berani-beraninya dia berkeliaran di sekitar sini. Pencuri tolol. Eh setidaknya itu justru mempermudah gue menemukannya. Gue langsung kesana dengan langkah seribu.
“Heiii Pandu!!!” teriak gue.
“Heiii...Winaaa? apa kabar?” apa-apaan itu. Nanya kabar gue dan gesturnya normal banget seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Senyumannya itu loh. seluas samudra!
“Lo kenapa ambil Pio dari gue!!?”
“Loh...bukannya elo udah jual ke orang lain. Gue aja terkejut saat Pio malah lo jual ke orang lain. Bukannya jual sama gue huh...lo lagi butuh duit ya sampai-sampai Pio lo jual?”
“Maksud lo? Dan kenapa gue telepon nomor lo ngga pernah aktif?”
“HP gue kemalingan Winaaaaa. Gue ngga tau rumah lo di mana dan harapan gue untuk ketemu lo lagi ya di taman ini dan di Pet Shop
“Tolong jelasin gue gimana ceritanya Pio bisa ada sama lo? Gue itu ngga ada jual Pio sama siapa-siapa! Jelas waktu itu Pio tiba-tiba hilang!”
“Dih serius lo? Jadi gue beli Pio dari seorang maling?Malah mahal banget dia ngejualnya”
“ Lo masih ingat ciri-ciri orang itu? Tolong balikin Pio gue!”
“Ngga bisa dong. Gue kan udah beli dia. Lo harus nebus Pio kalau mau dia kembali, walau sebenarnya gue berat banget, tapi demi lo apasih yang engga!”
“Lo tau siapa nama orang yang jual Pio?”
“Ini surat pembeliannya. Untung gue bawa.” Pandu mengeluarkan secarik kertas dari sakunya dan tertera nama Raka Kusnandar Pracipto. Nama itu... Nama itu mirip dengan nama Samsudin. Samsudin Kusnandar Pracipto. Tapi siapa dia?? Kenapa dia? Gue benar-benar kehilangan akal saat itu.
“Eh itu tuh...ituuuuu!” Pandu menunjuk-nunjuk seseorang.
“Apaan?”
“Orang itu yang jual kucing lo ke gue!” Dari kejauhan gue melihat sosok yang mungkin tidak terlalu asing dimata gue. Seorang laki-laki dengan tompel sebesar bola pimpong di lehernya. Itu penjaga konter!!! Kenapa dia?! 
“Ayo kita kesana Pandu!” Gue benar-benar naik pitam saat itu. Sesampainya di sana, si penjaga konter alias Raka Kusnandar Pracipto alias pencuri kucing gue(yang ini kayanya jauh lebih tepat) tampak menggaruk-garuk kepalanya.
“Heh Raka. Maksud lo apa curi kucing gue?Nggak pernah dididik sama orang tua lo?”
“Ehhh kalau ngga salah mbak ini gue pernah liat deh, tapi dimana ya? Kok tau nama gue sih”   
“Ngga usah banyak bacot deh lo. Gue tanya sekali lagi kenapa lo rampas kucing gue!?”
“Oh iya! Gue inget sekarang! Mbak ini pernah beli pulsa di konter tempat gue kerja!
“Woyyyy!!!” gue benar-benar hilang kesabaran dan serasa ingin menoyor kepalanya.
“Gue ngga mencuri kucing. Gue cuma menjual kucing”
“Lo kan yang ngikutin gue waktu malam-malam dan paginya lo kan yang mencuri kucing gue!!!”
“Engga tuh, gue dapat kucing ini dari abang gue dan karena gue ngga terlalu suka kucing jadi gue jual ajadeh. Hasilnya gue bagi rata sama abang gue”
“Siapa abang lo?”
“Si samsu.”
“Samsudin Kusnandar Pracipto??????”
“Eh iya pinter. Kok lo tau sih?”
“Persetan!!! Ternyata abang lo yang udah curi kucing gue. Balikin ngga duitnya! Atau gue lapor polisi dengan delik pencurian barang berharga!!!Lo tau sendirikan scottish fold itu harganya jutaan!!!”
“Jangan gitu dong mbak. Gue ngga tau apa-apa soal hal ini. Yang gue tau abang gue ngasih gue kucing. Dia bilang dapat dari mantannya dan nyuruh gue jual deh...Uangnya masih ada sama gue, masih utuh belum gue bagi rata sama bang Samsu”
“Bagus!!! Ternyata rencana abang lo kurang rapi dan dia ngga sempat buat konsensus sama lo. Tidak ada kongkalikong! Haha bodoh sekali dia!” Seketika gue berdiri dengan kokoh dan tersenyum menyeringai ala joker. Saat itu Raka berjanji akan mengembalikan uangnya kepada Pandu dan satu hal yang paling penting. Akhirnya gue bisa memeluk Pio lagi!

Raka memohon agar kejadian tersebut diselesaikan secara kekeluargaan saja. Pada saat itu gue menimbang-nimbang. Rasanya gue benar-benar benci sama Sam, namun gue setuju sama Raka kalau masalah ini ngga akan gue perpanjang. Deal sampai disitu. Tapi urusan gue sama Sam belum selesai.

Keesokan harinya saat gue membuka pintu, terdapat sebuah kotak dan nama pengirim tertera sangat besar disana. SAM. Gue segera membuka kotak tersebut. Terdapat sebuah bantal berbentuk kucing. Wajah Pio! Itu wajah Pio! Terdapat surat di bawah bantal tersebut. Surat permintaan maaf dari Sam dan lusa dia mengajak ketemuan!!!

Di suatu hari yang gue tunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Gue ketemuan sama Sam. Dia berbicara panjang lebar memohon maaf atas tindakan konyolnya. Dia memberi gue berlembar-lembar duit merah.
“lo nyogok gue?”  
“Gue ngga tau lagi harus menebus kesalahan gue gimana Win, tapi tolong jangan perpanjang masalah ini, gue tau gue bego banget. Pokoknya ambil duit ini dan gue ngga akan ngusik hidup lo lagi. Gue emang cinta sama lo Win, tapi gue sadar sekarang kalau gue ini memang egois dan satu hal yang harus lo tau. Bulan depan gue nikah Win. Gue akan memulai hidup baru. Ini undangan spesial buat lo, kalau bisa lo hadir. “Bagaimana deal? ”

 Sam menyodorkan tangannya, begitu juga gue. Gue menarik napas panjang.
Deal”.

TAMAT



The Scandal of Pio (Part 1)



“Gue benci Mulyo! Pokoknya mulai sekarang gue akan membencinya.....Aaaaaaaa!!!”

Terdengar suara Resti sahabat gue meraung-raung di seberang sana. Lebih dari itu. Dia berteriak, menjerit, loncat-loncat  layaknya mongkey hihi sejauh pengamatan gue sih gitu. Ya, dia memang alay kalau udah soal Mulyo. Mantannya yang nggak seberapa itu. “Winaaaaa!!! Tolong dong gimana caranya move on!!” Oke gue cukup sayang sama telinga gue. “Iya res nanti kita bicarai lagi bye”. Dengan sengaja gue memutus sambungan karena telinga gue udah ngilu dan yang pastinya gue inget ini adalah jadwal ke Pet Shop. Mulai sekarang gue akan taat sama to do list alias daftar kegiatan  yang udah gue rancang sedemikian rupa. Jam sebelas straight adalah jadwal membeli makanan Pio. Kucing Scottish Fold berbulu calico kesayangan gue. By the way Pio adalah kucing pemberian mantan gue. Walaupun saat ini gue hanyalah seorang phatetic loser yang jomblo namun konon sangat bermartabat.

“Mmmprewwwh”
“Mmmmaawwwww”
Oh ya perkenalkan, itu adalah suara manja Pio yang agak nyeleneh. Kini ia mengelus-eluskan kepalanya di kaki gue. Akibatnya kaus kaki gue yang udah molor jadi makin melorot nggak karuan. Gue memasukkan Pio ke dalam pet carrier alias keranjang kucing. Kalau ada kesempatan biasanya gue akan membawa serta Pio ke Pet Shop seperti hari ini.

Sesampainya gue di Pet Shop. Gue melihat seorang laki-laki dengan rambut klimis. Kulit seputih susu dan yang paling penting dia sangat tampan. Ia terus memandang ke arah Pio dengan senyum sumringah. “ Hai, kucingnya ya mbak...? Lucu bangettt” tegur si tampan.
“Ah...eh...iya ini kucing gue” oh tidak gue gugup!
“Oh, iya perkenalkan nama gue Pandu nama kucingnya siapa?”
“Nama kucing gue Pio, tuh dikalungnya ada name tagnya.” Gila banget ni orang ngga nanyain nama gue sama sekali.
“Oh ini jenis Scottish Fold kan? Umurnya berapa?”
“Satu setengah tahun” jawab gue singkat.
“Ada induknya ngga”?
“Ahh engga gue dapat anakannya doang” dan bla bla bla...percakapan hanya seputar Pio, Pio dan Pio. Hingga akhirnya kita bertukar nomor telepon untuk sharing soal kucing. Dia ngakunya sih gitu atau mungkin itu modus buat ngedekatin gue...hehehe.


Di perjalanan pulang HP gue berdering, tertera nama yang sangat akrab di layar smart phone gue. Tentu saja itu Resti. Sahabat gue yang setengah kewarasannya sedang terenggut. “Hallo Res” gue memulai percakapan. “Winnnnnnnnnnnnn, Huaaaaaaa!!!!!!!!!” Eh buset dah ni bocah, ngga ada habis-habisnya menyiksa indra pendengaran gue. Lengkingan mautnya refleks membuat gue menjauhkan HP beberapa senti dari kuping gue, tapi tiba-tiba suara itu lenyap.

Tut...tut...tut... sambungan terputus. Gue memutuskan menunggu dia menelepon lagi, tapi sudah banyak menit yang berlalu dan belum ada panggilan masuk. Sebagai sahabat yang baik hati, rasa khawatir itu sudah mendarah daging. Gue memutuskan untuk meneleponnya, tapi ternyata tidak secepat itu karena pulsa gue null!

Gue ke konter sambil menenteng-nenteng keranjang Pio, takut meninggalkannya sendirian di motor. Di konter gue melihat poster kucing  tiga dimensi yang benar-benar menawan. Ada banyak case HP yang bernuansakan kucing di etalase persis di sebelah poster yang ditempel.
“Cari apa mbak?”
Tiba-tiba sebuah suara membuat gue terkejut. Seorang penjaga konter dan gue baru pertama kali melihatnya. Sepertinya sih orang baru, tapi wajahnya mengingatkan gue dengan seseorang yang entah siapa. Pria di depan gue ini memiliki badan tegap, kulit sawo matang, mata sendu dan sesuatu yang sangat tertera di bawah wajahnya. Sebuah tompel sebesar bola pingpong di lehernya tampak begitu kontras. Sebuah tanda lahir pikir gue.   
“Cari apa mbak?” ulangnya.
“Eh iya, mas. Gue mau isi pulsa.

Sesampainya di depan kosan. Gue sangat terkejut melihat  sesuatu  di depan pintu. Sebuah kotak kubus kira-kira seukuran 15x15 cm. Di atasnya terdapat satu bucket bunga mawar berbagai warna. Cepat-cepat gue bawa benda tersebut masuk.Tertera nama pengirim di box tersebut. Nama seseorang yang gue kenal, Sam. Sam adalah orang yang cinta mati dengan gue.  Gue segera membuka kotak dan seketika wangi bunga berhamburan. Harum sekali. Isi kotak ini hanya terdiri dari berbagai jenis bunga. Sesuatu benda tergulung di antara bunga-bunga.  Sebuah surat cinta dengan kata-kata sok puitis. Ahhh gue bosan. Sebelumnya Sam juga pernah ngirim gue surat dan juga surel berhiaskan kata-kata ajaib bin sok puitisnya. Tapi kali ini mengirim bunga-bunga adalah gagasan baru baginya.

Dari arah luar terdengar sebuah langkah. Tak lama pintu kos diketuk-ketuk memanggil.  “Win, Winaaa...lo di dalam?”
Gue mengintip di balik jendela. Ah...ternyata sih pengirim paket, Sam alias Samsudin.
“Iya. Sebentar.” Gue cepat-cepat merapikan bunga-bunga dan mengembalikannya ke dalam kotak. 
“Hai...Sudah terima paketnya kan?”
“Ya. Makasih ya”
“Lo suka?”
“Ya gue suka bunganya, tapi kalau sama orangnya kayanya sih engga” sumpah demi apa gue menodong dia dengan kalimat tidak sopan itu. Ah itu murni apa adanya, gue ngga peduli.
“ Win, kenapa sih? Kenapa lo engga pernah bisa terima gue? Lo tau kan gue cinta sama lo udah dari dulu, gue rela nunggu lo putus sama Alfian. Pokoknya gue sayang banget sama lo Win, lo bisa kan kasih gue kesempatan untuk kali ini?”
“Hai Samsudin Kusnandar Pracipto, maaf ya hati gue lagi tertutup rapat dan hingga detik ini gue lagi ngga suka sama siapa-siapa”
“Izinkan gue untuk bisa lebih dekat dengan lo Win, kita bisa coba dan buka hati lo secara perlahan agar bisa terima gue.
“Gue bilang, gue ngga suka! Lu bisa ngga sih ngga maksa gue, gue muak sama semua ini. Apa kata-kata gue ngga cukup jelas buat lo. Tolong jangan egois, mementingkan perasaan lu sendiri sedangkan gue sama sekali ngga suka sama lo!”
“Tolong lah win, atau lo bakal menyesal”
“Maksud lo apa, lo mau ngancam gue? Noh Bunga sama surat lo, bawa pulang aja” gue menyodorkan kotak itu seraya menutup pintu.
“Sial lo Win, Bukan lo aja cewek di dunia ini!”
Gue mendengus kesal.Napas gue putus-putus. Akhirnya Sam pergi dengan memikul sejuta amarah di pundaknya. Belum pernah ia semarah ini sebelumnya. Laki-laki macam apa itu. Pemaksaan hati.   

Tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk di luar rumah. Suara emak-emak mengamuk melengking mengalahkan suara Resti. Ada apa pikir gue. Bak di dorong tenaga gaib gue langsung melongos ke luar dan sampai-sampai lupa pakai sandal.
“Punya mata nggak si lu, duuaasaarr botcahh edaaannnn. Mabuk nggak usah bawa motor botcahhhhhh!!!”
“Ampun mpok, ampun!!!”
 Dan ternyata Sam menabrak kandang ayam di rumah milik salah satu warga. Ayam berkeliaran keluar dengan bulu yang berhamburan bak salju. Sialnya kandang itu ambruk dan Sam kena carut marut sama pemilik kandang. Untung ngga sampai di gebukin sama warga disitu. Jadi ibarat petinju yang masih sempoyongan akibat terkena upper-cut lawan yang telak ke ulu hati, kini harus pula menerima swing-jab keras di rahang. Ah dasar Sam yang malang. Baru juga cintanya kandas kini harga dirinya bagai ditisuk sembilu yang di tetesi lemon dan cuka. Pedih euyyy.

Sam menatap gue dengan tatatapan menahan malu. Harga dirinya jatuh dua kali. Melihat penampilanya yang awut-awutan bermandikan bulu, gue ingin ketawa tapi takut dosa dan akhirnya gue melenggang pulang. Hahahaha enemy has been slain!
Anyway busway, gue teringat soal Resti. Kini gue berbaring cantik di atas kasur dengan selimut selembut bulu Pio. Gue segera menelepon bocah malang tersebut, tapi nomornya tidak aktif.  Lantas level kekhawatiran gue meningkat 0,5 persen. Gue segera menelepon Mulyo mantan Resti.
“Iya ada apa Win? Kalo lo mau maki-maki gue gara-gara Resti, sorry gue ngga punya waktu”
Waduh, songong abis ni anak. Entah pakai pelet titisan siapa si Resti bisa klepek-klepek sama orang ini.
“ Songong lu, gue cuma mau tanya”
“Tanya apa? Kalau tanya soal Resti, waktu gue terbatas.” 
“Yaelah...gitu amat, amat aja ngga gitu”
“Basi”
Darah gue rasanya udah naik ke ubun-ubun. Mulyo ketus banget. Songong luar binasa.
“Woy! Resti hilang!” nada gue mulai meninggi.
“ Apaaa!!!”
“Resti hilang!” Ah kali ini dia mulai panik.
“Resti hilang??? Mungkin sembunyi di kolong tempat tidur. Dah dulu ya bye
Siaaaaaaaaaallllllll.....kok ada ya manusia kaya gitu. Level kekhawatiran gue naik 1,5 persen. Gue segera siap-siap menuju kosannya. Mungkin benar kata Mulyo dia sembunyi di kolong tempat tidur dan gue idiot kalau percaya.

Setibanya di kosan Resti. Semuanya tampak aman, tentram dan damai. Gue ketuk pintunya. Keluar Dian teman sekosanya.
“Restinya Ada?”
“Resti bukannya pergi sama lo Win?”
 “Engga ada tuh, emangnya dia bilang apa sama lo?”
“Tadi sebelum pergi dia bilang mau main tempat lo gitu sih katanya...”
“Lu udah telpon dia?”
“Kaga ada sihhh...palingan dia mojok sama Mulyo”
“Oh gitu, yaudah gue pamit”
“Lah gitu doang?”
“Iya gue cuma mastiin doang”
Okeee kali ini gue benar-benar khawatir dimana Resti berada. Hari mulai gelap dan gue mulai takut.
Jalanan daerah kosan Resti minim cahaya dan kawasan perumahannya pun tampak benar-benar sepi. Gue berkendara lebih kencang hingga tiba-tiba.
Plakkkkk...!!!
Sesuatu telah terjatuh dan gue pun memutar motor.
Crashhh! Dan ternyata HP gue terlindas pemirsa. Ia hancur berkeping-keping. Gue mau nangis rasanya. Nyesek sekali. Segera gue selamatkan kartu sim dan juga memori HP yang masih sehat walafiat.

Setibanya di rumah, gue memindahkan kartu sim  ke HP jadul gue. Sial! Nomornya hilang semua, hanya ada nomor Resti, nyokap, bokap dan adik gue. Selebihnya ada di memori telepon HP gue yang rusak. Biarlah. Setidaknya cuma itu nomor-nomor yang penting dan paling sering gue hubungi. Gue iseng menelepon Resti dan nomornya masih ngga aktif. Tiba-tiba nomor yang ngga gue kenal memanggil. Gue nebak ini pasti Pandu.
“Hai Win, masih ingat gue kan? Gue Pandu yang tadi di Pet Shop.
“Hai juga, masih dong...”
Dan tanpa pamit, gue langsung memutuskan sambungan karena perut gue mules luar biasa. Gue langsung lari tunggang langgang ke toilet. Beberapa menit kemudian gue cek HP. What’s tujuh belas panggilan tak terjawab. Dari bermacam-macam nomor yang berbeda. Tak lama kemudian telepon berdering lagi. Nomor yang barusan miscall entah siapa.

“Hai, lo kemana aja kok menghilang?” masih suara Pandu ternyata.
“Hai, sorry tadi masakan gue hangus” gue beralibi. “Oh iya ngomong-ngomong kok nomor lo banyak amat Ndu?”
“Eh iya sorry gue nelpon pakai HP temen, batrai HP gue batrainya low”

“Oh gitu...iya deh” singkat cerita Pandu ngajak gue ke taman Kota besok sore dengan syarat membawa kucing masing-masing. 



Lanjut Part 2--------->

Mahasiswa alias Maha Tugas




"Kringggg......Kringggggg......Krinnggggg"
Kelopakku mengepak malas mencari asal bunyi tersebut. Bunyi yang membuyarkan mimpi indah, anggaplah demikian. Mesti aku tak tahu pasti mimpi apa aku sekian detik yang lalu. Aku segera meraih sumber bunyi tersebut. Hp android dengan case bergambar Scottish Cat kesayanganku. Tentu saja dari sana bunyi itu berasal. Kali ini aku enggan menekan tombol snooze karena sudah satu hingga dua......puluh kali aku melakukannya. Udara dingin menghelai-helai tubuhku, merayu hingga ke pori-puri kulit. Hingga akhirnya selimut tebal itu berhasil menelanku.  Apa salahnya tidur lima menit lagi!
"Kringggg......Kringggggg......Krinnggggg"
Suara menyebalkan itu berdering untuk kesekian kalinya dan aku langsung melakukan manuver. Segera ku tekan tombol off pada layar Hp tersebut takut terjebak tidur lagi. Jam empat pagi! Padahal semalam aku berjanji akan bangkit jam dua belas malam. Mataku terbelalak dan tanganku dengan sengaja menepuk jidat lebarku yang tak bersalah.
Aku Daira, mahasiswa semester lima yang perlu dirukiyah. Aku yakin pasti banyak jin nakal dalam raga ini. Segala tugas kampus menumpuk dan belum ada satupun yang terjamah. Sedangkan duapuluh episod anime sudah tuntas kutonton sampai rela menahan tidur. Aku sadar level penunda-nundaku ini sudah menduduki tahap kronis dan aku benar-benar mahasiswa berdosa yang memerlukan video motivasi.
Aku merelakan selimut tebal itu lingsir dari tubuh kurus ini dan mengonggokkannya sembarangan. Kini ragaku tengah di atas kursi dan mulai merasakan adrenalin menit-menit terakhir menuju deadline.
"Dairaaaaaa!!!... Daira kucel!!!... Open the door please!"
Terdengar suara Ami teriak-teriak sembari menggedor-gedor pintu kamarku. Ami selalu begitu. Menjulukiku Daira kucel dan selalu menggedor-gedor bak orang kesurupan.
"Ami! Lu tau kagak ini jam berapa?" tanyaku heran.
"Jam 4 lewat dikit-dikit. Gue mau minjem dua telur Ra, gue liat lu kemarin beli telur satu papan. Buruan deh keburu imsak. Besok gue ganti! BENERAN!!." Cerocos Ami, teman sekosanku.
" Untung gue lagi ngga tidur, sial lu Mi..." Besok ganti beneran loh! Gue lagi hemat-hemat soalnya."
"Enjeh mbak kucel, rambut lu makin kribo aja... Setres sama tugas ya hahahaha!"
Ami berkata sembari meninggalkan kamarku. Aku mendengus kesal, sebenarnya aku pingin rebonding, tapi buat apa juga sih! pikirku.
Aku segera menutup pintu kamar dan listrik pun seketika padam.
"sial !!! " Jeritan Ami terdengar dari kejauhan. Hatiku juga berkata hal yang sama. Aku yakin batrai laptoku takkan sanggup bertahan dalam satu jam ini dan yang paling penting adalah aku takkan mampu mengerjakan tugasku hanya dalam waktu satu jam. Bermodalkan nekad aku gedor pintu Tuti, teman kosanku yang lain, dan memutuskan untuk memintanya mengantarku ke warnet yang buka 24 jam. Agak jauh dari kosanku memang, dan aku tak punya motor.
"Tut, tolong anter gue dong ke warnet dekat Gang Jihat itu, cuma anter aja Tut...please" aku memasang wajah melas level tak terhingga.
"Jangan harap!!!" jawab Tuti ketus, dengan mata melotot, bak sedang mencondongkan pisau ke arahku. Aku takut rumor tentang Tuti yang berkepribadian ganda itu bukan sekedar rumor.
Tiba-tiba Tuti tertawa lepas. Aku ketakutan. "Hei biasa aja liatin gue, gue becanda kali!!!" ujar Tuti kalem. Darahku mengalir normal, aku lega.
Di ruangan petak nan sempit ini aku duduk dengan keadaan panik. Bintang-bintang lingsir digantikan sang mentari. Jam 06:45, aku mulai panik mungkin inilah akhirnya. Sebuah kegagalan perkasa, melewati mid semester dengan penuh penyesalan dan kebodohan. Baiklah aku gagal.
***
Hari Minggu pagi anak- anak kos tampak ceria, kecuali aku yang sibuk dengan tugas takut kegagalan keduakalinya akan menjemputku. Pak Nurdin selalu konsisten dengan perkataannya. "Jam tujuh ya jam tujuh, lewat dikit itu urusan lu" dia mengucapkan kata-kata ajaib itu tempo hari ketika aku minta keringanan satu hari lagi. Ternyata walaupun suka bercanda, Pak Nurdin tetaplah punya prinsip yang tak bisa di goyah sedikitpun. Aku menyesal nilai mid semester ku kosong. Tak ada tugas tambahan karena itu sudah komitmen awal. Apa boleh buat, belajar dari kesalahan. Begitu kata orang-orang.
Kali ini tugas sintaksis tengah kujamah, beberapa tugas lainnya masih di awang-awang. Hilir mudik dipikiran. Belum tersentuh. Kawanku yang lain sibuk juga, keluhan sana sini juga membuatku mual mendengarnya. "Ra tugas ini lu uda, Ra tugas yang dikasih sama buk bla bla bla bla bla " begitulah kira-kira bunyinya. Mereka yang cuma bisa nyontek, mereka yang cuma bisa copas, namun apa bedanya sama aku yang procrastinator ini. Jauh lebih parah kesannya. Penunda-nunda akut nan lamban, bak siput yang akhirnya jatuh semaput lihat nilainya sendiri.
Dosen selalu bilang hal sejenis ini "Padahal saya kasih waktu satu minggu untuk mengerjakan ini, kalian ngapain aja di rumah? Seharusnya dengan waktu satu minggu ini kalian bisa mengerjakan lebih baik dari ini". Mendengar pernyataan itu aku membuncah, dia pikir tugas kami cuma dari dia. Okelah dosen selalu benar dan pernyataan itu benar-benar membuatku nanar.
"Dairaaaaa!! Daira Kucellll, open the door please!!" Bisa kau tebak itu pasti Ami dan bisa kau tebak pasti ia ingin mengembalikan telur. Benar saja, dua buah telur dikepalan tangannya yang kecil. "Muchas gracias Daira" ucap Ami berterimakasih dengan bahasa spanyol.
"Sama-sama" ujarku sembari menutup pintu sebagai sinyal bahwa aku memang tengah sibuk. Istilah kapal pecah untuk menggambarkan kondisi kamarku memang tak layak. Lebih layak disebut kapal meledak dengan puing-puing yang tercecer disana sini. Kertas-kertas, piring kotor, baju kotor, serpihan-serpihan makanan semuanya bersahabat di kamarku. Ini baru semester lima kawan. Ataukah memang disemester lima ini puncak tugas yang membeludak? Belum lagi sypnosis, proposal dan hal yang paling dieluh-eluhkan mahasiswa semester akhir. Skripsi.
Tugas memang banyak, toh pengalamanku juga bertambah. Teman makin akrab karena sering ngeluh bareng. Ya begitulah mahasiswa...
23:06, 02/01/17
D' Rosier

Mbah Broto


Seorang lelaki tua sedang duduk bersantai di beranda rumah yang tak kalah tuanya. Kulit lelaki itu teramat keriput dimakan usia. Rambutnya yang putih tampak keperakan di bawah semburan mentari fajar. Orang-orang biasa memanggilnya Mbah Broto. Mbah Broto seorang yang ramah tamah namun berharga diri tinggi alias tak suka dikasihani. Ia hidup ditemani kucing setianya, Kudo. Berdua saja. Ia tak pernah punya anak, maka baginya Kudo adalah anaknya. Sanak familinya sudah lama menghilang satu persatu dan istrinya sudah meninggal berpuluh-puluh tahun silam. Di selasar rumahnya dipasangnya tiang dengan plang bertuliskan "Mbah Broto (tukang pijit)". Tiang iklan itu sudah benar-benar karatan. Terlihat begitu kopong dan ringkih. Hanya dengan satu dua tendangan mungkin bisa roboh.

Dalam minggu ini pelanggannya cuma sedikit. Untuk mencukupi kebutuhannya, maka ia menjual belalang dan juga minyak pijat yang ia racik sendiri dari tanaman-tanaman obat. Jika musim belalang tiba, maka ia akan berjualan belalang. Musim belalang berati musim hujan. Lain halnya di musim kemaarau, ia jarang beburu karena ia tak sanggup berlama-lama di bawah sengatan matahari. Terkadang berburu jugalah ia tapi itu pun jika terpaksa saja. Maka sebagai gantinya ia hanya menjual minyak pijat racikannya yang tak selalu laku di pasaran, mujurnya terkadang orang-orang datang kerumah untuk membeli ramuannya. Dengan ekonomni yang pas-pasan dan tanpa sanak famili, mbah Broto terbilang cukup sukses menghidupi dirinya. Ia beruntung perutnya tak pernah kosong meski sehari saja.
" Sekarang musim hujan,orang-orang males keluar" ia berkata-kata sambil dielusnya badan si Kudo. "Aku masih ingat pasien-pasienku dulu yang datang, mereka hanya berjumlah tak lebih dari jari-jari tanganku. Cuma itu ingatanku yg kekal". Lanjutnya sambil menatap ke arah mata Kudo.


Hari itu cuaca tak cukup bagus untuk berburu belalang. Hujan di luar bukan main derasnya. Datangnya bersahut-sahutan dibarengi gemuruh petir yang bersorak-sorak kesetanan. Hari yang teramat dingin. Balutan kain tebal yang menyelimuti tubuhnya tak selihai dingin yang telah menguasi badan ringkih itu. Dilihatnya kudo menggulung diri dan terlelap. Tiba-tiba terdengar suara gemeretak di luar rumah. Jelas sekali hingga membuatnya menemui sumber bunyi. Dilihatnya tiang iklan itu jatuh. Serpihan-serpihan karat besi membaur di lantai beton serambi rumahnya. " Bukan aku yg melakuannya!" Tiba- tiba terdengar suara yang lantas mengubah sorotan mata mbah Broto. "Benda itu lebih dulu jatuh dari pada kedatanganku, mungkin ia kena petir mbah". Lanjutnya takut disalahkan. "Iya...iya cah, aku percoyo."
"Oh iya mbah, ini nasinya." Anak muda itu menjulurkan kresek berisikan nasi lengkap dengan lauknya. 
"Opo iki? Kok aku dikasih ini?" Mbah Broto tampak tersinggung.
 "Gimana sih mbah, kemaren mbah sendiri yang pesen...hayooo udah lupa ya?"
"loh iya toh? Aku lupa, maklum uda tua.
" ini kembalian uang kemarin mbah"
" iya, makasih cah..."Anak muda tersebut meninggalkan mbah Broto sambil geleng-geleng kepala.

Pagi itu adalah pagi Senin. Suasana langit lumayan mendukung. Hanya hujan rinai. Pagi-pagi jam enam mbah Broto sudah mempersiapkan amunisinya. Disiapkannya bambu panjang dan jaring-jaring yang diletakkannya di meja teras. Pagi di sini selalu abadi dengan kesejukannya. Ia menjulurkan lengan bajunya yang tergulung, hingga melindungi tulang hasta yang menyembul dan juga pergelangan tangannya yang seakan-akan tanpa daging. Segera ia pergi menyusuri kawasan hutan jati yang terletak lumayan jauh dari rumahnya. Untuk sampai ke sana, ia harus menyebrangi sungai dengan membayar upah pada pemilik rakit. Di atas rakit, tampak pemburu lain sedang bersiul-siul meniru suara kacer hutan yang turut mewarnai suara alam. Sesampainya di sana, mbah Broto mulai bergerilya memasuki pohon-pohon jati yang besar dan lebat. "Waktunya berburu!" katanya penuh semangat meski suaranya bergetar-getar. Namun, semangatnya kandas seketika saat menyadari perlengkapan perangnya tertinggal. "Ohh gusti, aku benci jadi orang tua!" gerutunya. Hari itu penangkapan jadi tak maksimal, jadi diputuskannya untuk mengkonsumsi belalang buruannya seorang diri tanpa menjualnya. 
Di malam hari mbah Broto menghidupkan perapian. Ia duduk di depannya untuk membakar belalang sembari menghangatkan diri. Kudo turut serta disebelahnya menanti tuannya memberikan belalang gurih itu padanya. Ketika sedang menikmati hasil buruan, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. “Assalammulaikum mbah, mbah ada di dalam?" terdengar sayup-sayup suara pria.
"Iya-iya aku di dalam. Waalaikumsalam". Ternyata orang tersebut adalah warga desa yang mengaku leher dan pundaknya kram. 
" Maaf mbah, ini pundak saya sakit sekali"
 maka dengan segala kemampuannya, mbah Broto mengurut bagian yang sakit pada pasiennya tersebut. Orang itu akhirnya pulang dengan skresek berisikan 3 botol minyak pijat yang dibelinya dari mbah Broto.
Tak lama berselang. Pintu kembali deketuk. Datang seorang wanita dan dua orang anaknya. Ibu tersebut membawa seplastik beras seberat dua kilo.
 "Loh, iya ini pasti pesenanku" kata mbah Broto ketika plastik itu diarahkan kepadanya. 
"Iya mbah, mbah pesen beras sama suami saya waktu di hutan, saya kebetulan mau ke rumah Mbok Parmi jadi sekalian mampir, Oh iya ini kembaliannya mbah" wanita tersebut memberinya selembar lima ribuan. 
" Yo, makasih yooo nduk"
"Sama-sama mbah" Ibu dua anak itu pun berlenggang meninggalkan mbah Broto.
"Nahhh ini rejeki kucing sholeh. Minyak pijatku laku tiga, eh bukan kamu yg sholeh...tapi aku....hehehehe" guyonnya sambil mengelus-elus leher kucing kesayangannya itu.

            Hingga saat ini mbah Broto tak pernah sadar bahwa ia sedang dikasihani.
Mbah Broto yang selalu semangat dalam menjalani hidupnya dan tak suka dikasihani menumbuhkan rasa empati pada warga desa. Tak ada yang benar-benar sakit ketika datang minta dipijit. Tak ada yg benar-benar memesan makanan ketika orang-orang mengantarkanya sembako dan lauk pauk. Semuanya semata-mata hanya untuk membantu mbah Broto dengan memanfaatkan kepikunanannya.


Komando Keji

                                              


Jalanan penuh sesak. Sesak akan khalayak yang  sedang hanyut menyambut keceriaan.Lampion-lampion berbagai bentuk menggantung indah mengedipkan warna-warna cerah bak menantang purnama yang masih sembunyi di balik gundukan awan. Di bawah temaram senja orang-orang bersukaria, tapi tidak denganku yang hanya numpang lewat menyusuri gelimangan manusia yang sedang bereuforia merayakan Mid-Autumn Festival.    Seluruh negeri China sedang berpesta tak terkecuali Hongkong tempatku kini mengadu nasib. Negara ini sedang merayakan rasa syukur penyambutan musim panen ditengah-tengah musim gugur. Terlihat kerumunan manusia  dari ras yang berbeda-beda. Banyak turis rupanya.Tiba-tiba aku teringat wanita tua dan dua serdadu kecil itu di rumah. Maka dengan berat hati aku menapak lebih laju.

Di jalan pulang aku melihat seekor tikus berlari sangat kencang menuju ke celah papan-papan besar yang disandarkan di dinding sebuah toko.   Aku menatap jijik teringat akan tikus-tikus di rumah majikannku yang tak pernah ada habisnya. Nenek tua yang kurawat akan kambuh sakit gilanya jika melihat tikus berkliweran di dalam rumah. Tak terkecuali dua orang cucunya yang kembar. Barangkali mereka mewarisi kegilaan neneknya. Wanita tua yang kurawat ini lumpuh maka sehari-hari ia selalu beraktivitas di atas kursi roda. Ia senang merajut benang wol. Bukan membuat pakaian atau syal dan lainnya. Ia sangat senang merajut membentuk bola-bola. Awalnya aku mengira ia tengah merajut Amigurumi, yaitu sejenis seni merajut boneka kecil asal Jepang. Ternyata hanya sekedar bola-bola dengan benang yang selalu hitam. Sudah banyak bola-bola hasil rajutannya menumpuk di rumah, mulai dari ukuran kecil hingga seukuran kepalan tangan dewasa. Aku pernah bertanya perihal warna bola yang selalu hitam dan dia hanya menjawab bahwa itu bukan urusanku. Setelah membuat bola-bola maka benda itu akan dilemparkannya kemana saja layaknya sampah. Selalu begitu, namun terpotret gurat kepuasan membingkai di wajah nan keriput itu.

Bunga-bunga di depan rumah menabur harum, namun harum tersebut seketika lenyap dan sesuatu menyegrap hidungku. Bau amis menyeruak membuatku mual.  Di dalam rumah aku melihat Fai dan Chen tengah bermain-main dengan bola-bola buatan neneknya. Sang nenek seperti biasa duduk di depan TV dengan tangannya yang lihai memainkan jarum dan benang-benang.     Tidak ada yang aneh pikirku atau mungkin saja indra penciumanku terlalu sensitif. Tiba-tiba Chen berteriak kencang memekikkan telinga. Bocah sembilan tahun itu membuat Fai dan nenek Li tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat Chen ketagihan untuk mengulanginya. Guyonan yang sangat aneh pikirku. Guyonan yang hanya cocok jika dilemparkan dan dinikmati oleh para balita. Kali ini bau amis itu semakin nyata dan terjawab sudah dari mana bau itu berasal. Dua ekor tikus telah buntung-buntung badannya. Darahnya berceceran. Ternyata telah terjadi pembunuhan disini. Bayangan lampion-lampion indah beberapa menit yang lalu kandas digantikan dengan pemandangan bangkai.  Aku yakin pasti Chen dan Fai yang memutilasi tikus-tikus itu. Benar saja aku melihat baju dua bocah itu terdapat bercak-bercak darah dan nenek Li? Apakah tadi dia sempat gila?

Ketika aku membalikkan badan seketika aku terkejut melihat nenek Li sudah ada di ambang pintu dapur. “Bersihkan darah itu dan buang bangkai penyusup gila itu!” pintanya sembari memutar balik kursi roda meninggalkanku. Pekerjaan yang menjijikkan. Aku benci tikus dan kenapa hal-hal ini harus terjadi. Aku mengambil tikus-tikus itu dengan bantuan plastik. Sungguh aku tak ingin menyentuh setitikpun darahnya. Lantai penuh darah itu aku pel dan menebarkan pewangi lantai sebanyak-banyaknya. Fai dan Chen terkekeh melihatku membabu. “Dasar gila!” batinku menggeram. Lama-lama bisa sama gilanya aku dengan mereka.   

Dua anak itu memang berbeda tak seperti anak-anak lainnya. Keganjilan dan kekerasan sudah terpatri sedari dini. Menggerogoti jiwanya yang masih suci-suci. Itu pasti karena ulah neneknya. Nenek Li yang selalu memberi aba-aba untuk melakukan kekerasan terhadap apa-apa yang mengganggu pemandangannya, namun sayangnya kedua jantan belia itu semakin hari semakin kesenangan dengan perintah sang gila. Seperti di hari itu. Ketika hari hujan dan mulai reda, satu dua laron memasuki rumah melalu ventilasi. Semakin lama maka laron-laron itu semakin banyak pula. Semuanya mengitari lampu yang berada di ruang tamu. Nenek Li terlihat terganggu. Di tempatnya ia duduk berjatuhan sayap-sayap laron menyentuh ubun-ubunnya dan kemudian menyebar di pangkuannya. Ia berseru-seru. Memaki laron-laron tersebut dengan bahasa Mandarin. Tak lama umpatan-umpatan itu ditiru oleh kedua cucunya. Sang nenek semakin terlihat kesal. Aku berusaha membantu nenek Li membersihkan sayap-sayap itu, namun wanita tua itu  justru marah dan memintaku jangan ikut campur. Ia menyruhku masak dan jangan ikut-ikutan. Nenek Li menyuruh kedua cucunya menyemprot laron-laron tersebut dengan racun serangga.  Maka seketika jasad anai-anai bersayap itu membanjiri lantai. Tak puas sampai disitu nenek Li menyuruh dua bibit psikopat itu menghabisi mayat-mayat laron dengan  cara menumbukinya dengan batu. Dengan senang hati dua sosok itu langsung menyebar mencari batu dan menumbuk membabi buta.  Nenek Li berkata sejenis umpatan dalam bahasa mandarin yang lantas diikuti dua insan kecil itu. Gelak tawa menggelegar di seantero rumah ini. Semburat senyum  puas membingkai di wajahnya seperti kesan puas saat merajut dan melempar bola-bola buatannya. Aku benar-benar cemas melihat pertumbuhan dua bocah itu. Kedua orang tuanya sudah bercerai. Ayahnya menikah dengan wanita lain dan tak pernah mengunjungi kedua putranya lagi. Sedangkan Ibunya seorang single parent yang kini bekerja mengadu nasib di Amerika. Sesekali ia pulang, itu pun jarang sekali hingga keberadaannya hampir terlupakan di rumah ini. Anak-anaknya terlihat cukup bahagia dengan keberadaan sang nenek yang justru pertumbuhan keduanya tercemar keberingasan.
Bagiku kata “menghabisi” lebih berkonotasi negatif dibandingkan dengan kata “membunuh”.Menghabisi berarti terselip penyiksaan dan kebrutalan di dalamnya.  Kata-kata itulah yang tiap kali terlontar di bibir tipis nenek Li sebagai komando kepada dua cucunya yang entah tanpa sadar telah memupukkan Fai dan Chen benih-benih kenistaan.