“Gue benci Mulyo!
Pokoknya mulai sekarang gue akan membencinya.....Aaaaaaaa!!!”
Terdengar suara Resti
sahabat gue meraung-raung di seberang sana. Lebih dari itu. Dia berteriak,
menjerit, loncat-loncat layaknya mongkey hihi sejauh pengamatan gue sih
gitu. Ya, dia memang alay kalau udah soal Mulyo. Mantannya yang nggak seberapa
itu. “Winaaaaa!!! Tolong dong gimana caranya move on!!” Oke gue cukup sayang sama telinga gue. “Iya res nanti
kita bicarai lagi bye”. Dengan sengaja
gue memutus sambungan karena telinga gue udah ngilu dan yang pastinya gue inget
ini adalah jadwal ke Pet Shop. Mulai
sekarang gue akan taat sama to do list
alias daftar kegiatan yang udah gue
rancang sedemikian rupa. Jam sebelas straight
adalah jadwal membeli makanan Pio. Kucing Scottish
Fold berbulu calico kesayangan
gue. By the way Pio adalah kucing
pemberian mantan gue. Walaupun saat ini gue hanyalah seorang phatetic loser yang jomblo namun konon sangat
bermartabat.
“Mmmprewwwh”
“Mmmmaawwwww”
Oh ya perkenalkan, itu
adalah suara manja Pio yang agak nyeleneh. Kini ia mengelus-eluskan kepalanya
di kaki gue. Akibatnya kaus kaki gue yang udah molor jadi makin melorot nggak
karuan. Gue memasukkan Pio ke dalam pet
carrier alias keranjang kucing. Kalau ada kesempatan biasanya gue akan
membawa serta Pio ke Pet Shop seperti
hari ini.
Sesampainya gue di Pet Shop. Gue melihat seorang laki-laki
dengan rambut klimis. Kulit seputih susu dan yang paling penting dia sangat
tampan. Ia terus memandang ke arah Pio dengan senyum sumringah. “ Hai,
kucingnya ya mbak...? Lucu bangettt” tegur si tampan.
“Ah...eh...iya ini
kucing gue” oh tidak gue gugup!
“Oh, iya perkenalkan
nama gue Pandu nama kucingnya siapa?”
“Nama kucing gue Pio,
tuh dikalungnya ada name tagnya.”
Gila banget ni orang ngga nanyain nama gue sama sekali.
“Oh ini jenis Scottish Fold kan? Umurnya berapa?”
“Satu setengah tahun”
jawab gue singkat.
“Ada induknya ngga”?
“Ahh engga gue dapat anakannya doang” dan bla bla bla...percakapan hanya seputar Pio, Pio dan Pio. Hingga akhirnya kita bertukar nomor telepon untuk sharing soal kucing. Dia ngakunya sih gitu atau mungkin itu modus buat ngedekatin gue...hehehe.
“Ahh engga gue dapat anakannya doang” dan bla bla bla...percakapan hanya seputar Pio, Pio dan Pio. Hingga akhirnya kita bertukar nomor telepon untuk sharing soal kucing. Dia ngakunya sih gitu atau mungkin itu modus buat ngedekatin gue...hehehe.
Di perjalanan pulang HP
gue berdering, tertera nama yang sangat akrab di layar smart phone gue. Tentu saja itu Resti. Sahabat gue yang setengah
kewarasannya sedang terenggut. “Hallo Res” gue memulai percakapan.
“Winnnnnnnnnnnnn, Huaaaaaaa!!!!!!!!!” Eh buset dah ni bocah, ngga ada
habis-habisnya menyiksa indra pendengaran gue. Lengkingan mautnya refleks
membuat gue menjauhkan HP beberapa senti dari kuping gue, tapi tiba-tiba suara
itu lenyap.
Tut...tut...tut...
sambungan terputus. Gue memutuskan menunggu dia menelepon lagi, tapi sudah
banyak menit yang berlalu dan belum ada panggilan masuk. Sebagai sahabat yang
baik hati, rasa khawatir itu sudah mendarah daging. Gue memutuskan untuk
meneleponnya, tapi ternyata tidak secepat itu karena pulsa gue null!
Gue ke konter sambil
menenteng-nenteng keranjang Pio, takut meninggalkannya sendirian di motor. Di konter
gue melihat poster kucing tiga dimensi
yang benar-benar menawan. Ada banyak case HP yang bernuansakan kucing di
etalase persis di sebelah poster yang ditempel.
“Cari apa mbak?”
Tiba-tiba sebuah suara
membuat gue terkejut. Seorang penjaga konter dan gue baru pertama kali
melihatnya. Sepertinya sih orang baru, tapi wajahnya mengingatkan gue dengan
seseorang yang entah siapa. Pria di depan gue ini memiliki badan tegap, kulit
sawo matang, mata sendu dan sesuatu yang sangat tertera di bawah wajahnya.
Sebuah tompel sebesar bola pingpong di lehernya tampak begitu kontras. Sebuah
tanda lahir pikir gue.
“Cari apa mbak?”
ulangnya.
“Eh iya, mas. Gue mau
isi pulsa.
Sesampainya di depan
kosan. Gue sangat terkejut melihat
sesuatu di depan pintu. Sebuah
kotak kubus kira-kira seukuran 15x15 cm. Di atasnya terdapat satu bucket bunga mawar berbagai warna.
Cepat-cepat gue bawa benda tersebut masuk.Tertera nama pengirim di box tersebut. Nama seseorang yang gue
kenal, Sam. Sam adalah orang yang cinta mati dengan gue. Gue segera membuka kotak dan seketika wangi
bunga berhamburan. Harum sekali. Isi kotak ini hanya terdiri dari berbagai
jenis bunga. Sesuatu benda tergulung di antara bunga-bunga. Sebuah surat cinta dengan kata-kata sok puitis.
Ahhh gue bosan. Sebelumnya Sam juga pernah ngirim gue surat dan juga surel berhiaskan
kata-kata ajaib bin sok puitisnya. Tapi kali ini mengirim bunga-bunga adalah gagasan
baru baginya.
Dari arah luar
terdengar sebuah langkah. Tak lama pintu kos diketuk-ketuk memanggil. “Win, Winaaa...lo di dalam?”
Gue mengintip di balik
jendela. Ah...ternyata sih pengirim paket, Sam alias Samsudin.
“Iya. Sebentar.” Gue
cepat-cepat merapikan bunga-bunga dan mengembalikannya ke dalam kotak.
“Hai...Sudah terima
paketnya kan?”
“Ya. Makasih ya”
“Lo suka?”
“Ya gue suka bunganya,
tapi kalau sama orangnya kayanya sih engga” sumpah demi apa gue menodong dia
dengan kalimat tidak sopan itu. Ah itu murni apa adanya, gue ngga peduli.
“ Win, kenapa sih?
Kenapa lo engga pernah bisa terima gue? Lo tau kan gue cinta sama lo udah dari
dulu, gue rela nunggu lo putus sama Alfian. Pokoknya gue sayang banget sama lo
Win, lo bisa kan kasih gue kesempatan untuk kali ini?”
“Hai Samsudin Kusnandar
Pracipto, maaf ya hati gue lagi tertutup rapat dan hingga detik ini gue lagi
ngga suka sama siapa-siapa”
“Izinkan gue untuk bisa
lebih dekat dengan lo Win, kita bisa coba dan buka hati lo secara perlahan agar
bisa terima gue.
“Gue bilang, gue ngga
suka! Lu bisa ngga sih ngga maksa gue, gue muak sama semua ini. Apa kata-kata
gue ngga cukup jelas buat lo. Tolong jangan egois, mementingkan perasaan lu
sendiri sedangkan gue sama sekali ngga suka sama lo!”
“Tolong lah win, atau
lo bakal menyesal”
“Maksud lo apa, lo mau ngancam
gue? Noh Bunga sama surat lo, bawa pulang aja” gue menyodorkan kotak itu seraya
menutup pintu.
“Sial lo Win, Bukan lo
aja cewek di dunia ini!”
Gue mendengus kesal.Napas
gue putus-putus. Akhirnya Sam pergi dengan memikul sejuta amarah di pundaknya. Belum
pernah ia semarah ini sebelumnya. Laki-laki macam apa itu. Pemaksaan hati.
Tiba-tiba terdengar
suara hiruk pikuk di luar rumah. Suara emak-emak mengamuk melengking
mengalahkan suara Resti. Ada apa pikir gue. Bak di dorong tenaga gaib gue
langsung melongos ke luar dan sampai-sampai lupa pakai sandal.
“Punya mata nggak si lu,
duuaasaarr botcahh edaaannnn. Mabuk nggak usah bawa motor botcahhhhhh!!!”
“Ampun mpok, ampun!!!”
Dan ternyata Sam menabrak kandang ayam di
rumah milik salah satu warga. Ayam berkeliaran keluar dengan bulu yang
berhamburan bak salju. Sialnya kandang itu ambruk dan Sam kena carut marut sama
pemilik kandang. Untung ngga sampai di gebukin sama warga disitu. Jadi ibarat
petinju yang masih sempoyongan akibat terkena upper-cut lawan yang telak ke ulu hati, kini harus pula menerima swing-jab keras di rahang. Ah dasar Sam
yang malang. Baru juga cintanya kandas kini harga dirinya bagai ditisuk sembilu
yang di tetesi lemon dan cuka. Pedih euyyy.
Sam menatap gue dengan
tatatapan menahan malu. Harga dirinya jatuh dua kali. Melihat penampilanya yang
awut-awutan bermandikan bulu, gue ingin ketawa tapi takut dosa dan akhirnya gue
melenggang pulang. Hahahaha enemy has
been slain!
Anyway
busway, gue teringat soal Resti. Kini gue berbaring cantik
di atas kasur dengan selimut selembut bulu Pio. Gue segera menelepon bocah
malang tersebut, tapi nomornya tidak aktif.
Lantas level kekhawatiran gue meningkat 0,5 persen. Gue segera menelepon
Mulyo mantan Resti.
“Iya ada apa Win? Kalo
lo mau maki-maki gue gara-gara Resti, sorry gue ngga punya waktu”
Waduh, songong abis ni
anak. Entah pakai pelet titisan siapa si Resti bisa klepek-klepek sama orang
ini.
“ Songong lu, gue cuma
mau tanya”
“Tanya apa? Kalau tanya
soal Resti, waktu gue terbatas.”
“Yaelah...gitu amat,
amat aja ngga gitu”
“Basi”
Darah gue rasanya udah
naik ke ubun-ubun. Mulyo ketus banget. Songong luar binasa.
“Woy! Resti hilang!”
nada gue mulai meninggi.
“ Apaaa!!!”
“Resti hilang!” Ah kali
ini dia mulai panik.
“Resti hilang???
Mungkin sembunyi di kolong tempat tidur. Dah dulu ya bye”
Siaaaaaaaaaallllllll.....kok
ada ya manusia kaya gitu. Level kekhawatiran gue naik 1,5 persen. Gue segera
siap-siap menuju kosannya. Mungkin benar kata Mulyo dia sembunyi di kolong
tempat tidur dan gue idiot kalau percaya.
Setibanya di kosan
Resti. Semuanya tampak aman, tentram dan damai. Gue ketuk pintunya. Keluar Dian
teman sekosanya.
“Restinya Ada?”
“Resti bukannya pergi
sama lo Win?”
“Engga ada tuh, emangnya dia bilang apa sama
lo?”
“Tadi sebelum pergi dia
bilang mau main tempat lo gitu sih katanya...”
“Lu udah telpon dia?”
“Kaga ada
sihhh...palingan dia mojok sama Mulyo”
“Oh gitu, yaudah gue
pamit”
“Lah gitu doang?”
“Iya gue cuma mastiin
doang”
Okeee kali ini gue
benar-benar khawatir dimana Resti berada. Hari mulai gelap dan gue mulai takut.
Jalanan daerah kosan
Resti minim cahaya dan kawasan perumahannya pun tampak benar-benar sepi. Gue
berkendara lebih kencang hingga tiba-tiba.
Plakkkkk...!!!
Sesuatu telah terjatuh
dan gue pun memutar motor.
Crashhh! Dan ternyata HP
gue terlindas pemirsa. Ia hancur berkeping-keping. Gue mau nangis rasanya.
Nyesek sekali. Segera gue selamatkan kartu sim dan juga memori HP yang masih sehat
walafiat.
Setibanya di rumah,
gue memindahkan kartu sim ke HP jadul
gue. Sial! Nomornya hilang semua, hanya ada nomor Resti, nyokap, bokap dan adik
gue. Selebihnya ada di memori telepon HP gue yang rusak. Biarlah. Setidaknya cuma
itu nomor-nomor yang penting dan paling sering gue hubungi. Gue iseng menelepon
Resti dan nomornya masih ngga aktif. Tiba-tiba nomor yang ngga gue kenal
memanggil. Gue nebak ini pasti Pandu.
“Hai Win, masih ingat
gue kan? Gue Pandu yang tadi di Pet Shop.
“Hai juga, masih
dong...”
Dan tanpa pamit, gue
langsung memutuskan sambungan karena perut gue mules luar biasa. Gue langsung
lari tunggang langgang ke toilet. Beberapa menit kemudian gue cek HP. What’s tujuh belas panggilan tak
terjawab. Dari bermacam-macam nomor yang berbeda. Tak lama kemudian telepon
berdering lagi. Nomor yang barusan miscall
entah siapa.
“Hai, lo kemana aja kok
menghilang?” masih suara Pandu ternyata.
“Hai, sorry tadi
masakan gue hangus” gue beralibi. “Oh iya ngomong-ngomong kok nomor lo banyak
amat Ndu?”
“Eh iya sorry gue
nelpon pakai HP temen, batrai HP gue batrainya low”
“Oh gitu...iya deh”
singkat cerita Pandu ngajak gue ke taman Kota besok sore dengan syarat membawa
kucing masing-masing.
Lanjut Part 2--------->
Tidak ada komentar:
Posting Komentar