Angkasa begitu legam. Hitamnya
melekat tajam di gantungi miliaran bintang. Gelap yang menawan, rembulan kokoh
memajang diri dengan purnama. Aku masih di sini menyatu dengan semesta.
Berbaring di rerumputan luas berpayungkan langit, berusaha menceburkan diri ke
genangan malam. Suara alam lengang, tidak ada yang terdengar di telinga selain
sepi yang megah. Menenggelamkanku ke relung-relung hening melenakan. Menyeretku hingga kepusaran ingatan masa
lalu. Tentang kita.
Itu kita. Tiga bintang dengan formasi
sempurna. Alnitak, Alnilam, Mintaka. Sabuk Orion
nan indah. Ibuku menyebutnya rasi bintang “Waluku”. Ingatkah kau
bahwasannya tiga bintang itu melambangkan ikatan persahabatan kita? Masih
terngiang segenap kenangan tentang hitam putih antara tiga sejawat. Aku, kau
dan dia. Di tempat ini. Di tempat yang
serupa. Hanya saja sebagian pohon di sekelilingku
tak lagi menjulang mengadah langit. Rantingnya seakan rapuh ditumpuk masa, tak
ubahnya perasaanku yang sedemikian rapuhnya diterjang badai dahsyat yang keluar
dari bibir merahmu yang merah merekah. Namun hingga detik ini, tempat ini masih
menjadi pelarian dari segenap kerasnya kehidupan. Tempat syahduku bercengkrama dengan sang
malam yang legam.
Alnitak, Alnilam,Mintaka (sang
pemburu). Mereka adalah kita. Ninda, Winda dan Ayu sang pemburu kebahagiaan. Stargazing
pertama kita di malam itu diselimuti angin yang sungguh mencucuk sumsum dan
tulang. Terangnya bulan saat itu menampakkan matamu yang berbinar-binar
mengucapkan janji persahabatan. Aku menatap bola matamu lekat-lekat. Sebuah
tungku perapian. Kayu yang membara dan tak pernah kehilangan semangat. Malam
itu aku dan Winda menjadi pendengar setiamu. Hari-hari nan indah kita pikul
dengan sejuta senyuman. Mengukir kenangan tanpa ada yang mengusik. Kenyamanan
terangkul di bahuku yang turun. Kala itu aku merasakan hari-hari yang seakan
tanpa beban. Berpayung dalam kebahagian
masa-masa muda.
Lambat laun kayu-kayu di matamu mulai menghitam hingga
membaur di udara menjadi abu dan meluruh. Aku dan Winda meredam sejuta tanya.
Ada apa? Kenapa kau menghilang?
Di bawah pepohonan rindang di suatu
masa. Aku dan Winda bersemayam di bawahnya tanpa kau yang seakan melebur jauh. Saat itu
adalah senja. Mentari bersandar di punggung bukit. Lembut bias cahayanya
mewarnai langit barat. Di bawah semburat cahaya orange kemerahan sosokmu
muncul. Kau tampak tersenyum walau hanya menarik salah satu ujung bibir. Senyuman
yang jelas-jelas kau paksakan. Di kanan dan kirimu hadir sosok-sosok yang tangan-tangannya kau rangkul teramat erat.
“Maafkan aku selama ini kalian
hanyalah pelarian bagiku” Ayu memberi pernyataan yang benar-benar membuatku
menggerenyitkan dahi. Seolah apa yang dikatakannya tak masuk akal bagiku
mengingat akan hari-hari menyenangkan yang telah kami lalui.
“Apa maksudmu?” Winda tampak
bersuara.
“Di sekolah ini kalian hanya
batu-batu kecil yang tersisihkan, kebahagiaanku bersama kalian selama ini
adalah semu”
Ayu melenggang pergi. Meninggalkan aku
dan Winda dengan sejuta tanya. Kata-kata itu begitu menancap ke ulu hati. Jadi apa
artinya kami selama ini? Hanya batu-batu kecil yang tersisihkan katanya. Aku dan
Winda memang tidak populer di sekolah, tetapi tidak seremeh temeh itu. Apa artinya
popularitas jika tidak bahagia? Aku dan Winda sepakat tidak memerlukannya.
Suatu saat aku dan Winda akan
menjelma jadi batu-batu tajam yang dapat melukai kakimu. Kami memang tak
terlihat, namun kami berbahaya jika dilewatkan begitu saja.Keberadaan kami seolah
selalu disisihkan, namun jika diletakkan di tempat yang benar kami tidak akan
berbahaya. Apakah ini semacam dendam kesumat? Tidak. Tidak akan. Tidaklah hatiku
secarut itu dengan membentuk dendam tak penting. Tapi Winda? Ah air mukanya mengatakan hal yang
sama.
Mulai saat itu tidak ada lagi rasi
Orion. Tidak bisa dikatakan rasi Orion jika salah satu bintang tidak berada di
zonanya. Winda masih selalu di sisiku hingga saat ini. Kami bersatu padu dan
tampak terang benderang seperti bintang Sirius
alias Dhruva. Bintang kutub yang
paling cemerlang di langit malam. Menggambarkan kesetiaan yang kekal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar